Masalah deforestasi akibat dari adanya industri pada sektor kehutanan di Indonesia telah menjadi masalah yang sangat serius. Meskipun telah ada Instruksi Presiden Nomor 10/2011 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, tetapi peraturan ini tidak bisa mengurangi isu-isu ekologi di Indonesia tak terkecuali di Riau. Adanya jaringan advokasi transnasional seperti organisasi lingkungan global Greenpeace sangat penting untuk membuat isu ini menjadi isu besar dan krusial bagi negara untuk segera di tuntaskan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi jaringan advokasi transnasional Greenpeace dalam menangani isu-isu ekologi di Indonesia pada studi kasus Riau pada tahun 2011-2018, pada masa berjalannya kebijakan moratorium hutan. Sejalan dengan tujuan tersebut, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif, dengan teknik analisis data kualitatif. Sementara konsep yang penulis gunakan adalah konsep transnational advocacy networks yang dikemukakan oleh Margaret E. Keck & Kathryn Sikkink. Hasil dari penelitian ini adalah Greenpeace telah melakukan empat strategi jaringan advokasi transnasional yaitu; (1) Politik Informasi dengan menyebarluaskan laporan hasil investigasi; (2) Politik Simbolik dengan melakukan aksi-aksi kreatif; (3) Politik Pengaruh dengan membujuk dan menekan aktor yang lebih kuat; (4) Politik Akuntabilitas dengan mengekspos jarak antara wacana dan praktik. Dari kasus-kasus deforestasi dan isu-isu ekologi yang ada di Riau, yang disebabkan oleh industri kelapa sawit danĀ pulp/HTI tersebut, serta aksi-aksi dalam politik simbolik, politik pengaruh, dan poltik akuntabilitas Greenpeace, telah menciptakan sebuah komitmen dari pemerintah dengan dikeluarkannya Inpres nomor 8 Tahun 2018 tentang moratorium izin perkebunan sawit, HTI, dan pertambangan.
Copyrights © 2022