Perserikatan Bangsa-bangsa–PBB melalui International Telecommunication Union menetapkan tanggal 17 Juni 2015 sebagai batas waktu negara-negara di seluruh dunia untuk melakukan migrasi dari Penyiaran Televisi Analog ke Penyiaran Televisi Digital-Analog Switch Off (ASO) (The Geneva 2006 Frequency PlanGE 06 Agreement). 99 persen wilayah dunia telah mengimplementasikan hal tersebut. Namun hingga kini Indonesia belum bisa melaksanakan kewajiban tersebut karena masih terkendala regulasi yang belum ada. Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak secara tegas mengatur masalah tersebut. Pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informasi kemudian menerbitkan dua peraturan menteri, yaitu: Peraturan Menteri No. 22/2011, tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Air) dan Peraturan Menteri No. 23 Tahun 2011 tentang Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio untuk Keperluan Televisi Siaran Digital Terestrial Pada Pita Radio 478 – 694 MHz. Kedua peraturan tersebut kalah dalam judicial review di Mahkamah Konstitusi oleh Institute of Community and Media Development (Incode) dan juga kembali kalah dalam Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATJI). Kemudian pemerintah mengubah paradigma frekuensi milik publik menjadi milik negara, spektrum frekuensi radio (digunakan sebagai kanal penyiaran televisi) merupakan sumber daya alam terbatas dan kekayaan nasional yang dikuasai negara dan dikelola oleh pemerintah untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dan menunjuk LPP TVRI sebagai operator tunggal penyelenggara frekuensi digital. Kementerian Komunikasi dan Informasi mengajukan revisi UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran untuk mengakomodir regulasi tersebut, tetapi meskipun sudah diputuskan melalui voting di Badan Legislasi DPR RI, beberapa fraksi partai yang kalah tetap tidak bisa menerima keputusan tersebut karena dianggap sebagai tindakan monopoli terhadap penyiaran televisi Indonesia, dan menghambat demokratisasi penyiaran.
Copyrights © 2018