Makalah ini membahas pemikiran para sufi mengenai terminology qurbā (kedekatan) dalam kaitannya dengan wacana walāya (ke-wali-an). Dalam literatur sufi kata-kala qurbā sering dihubunglan dengan ide mengenai cinta (maḥabba), rindu (shauq), dan keintiman (uzs). secara spesifik makalah ini mengangkat pemikiran tiga orang sufi besar, yaitu al-Tirmidhi (w. 905), al-Niffari (w. 965) dan Ibn al-'Arabi (w.1240). Al-Tirmidhī setelah membedakan dua jenis wali; wali haqq Allah dan wali Allah, mengatakan bahwa tahapan tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang wali haqq Allah adalah maqam yang disebut maḥall al-qurbā tempat kedekatan. Pada posisi tersebut seorang wali dapat menerima pancaran nur al- qurbā dari Allah, sehingga ia tetap dapat mengontrol hawa nafsunya. Al-Niffari menghubungkan pendapatnya mengenai ide qurbā ini dengan fase-fase pemberhentian (mawāqib) yang ia lalui sebagai seorang sufi. Menurutnya mawāqib qurbā ada pada urutan kedua, dan hanya dapat dicapai oleh mereka yang selalu menjauhkan diri dari godaan dunia (zuhd). Sedangkan Ibn al-'Arabi, pemikiran mengenai qurbā ini tidak dapat dipisahkan dengan walāya (kewalian) dan nubuwwa (kenabian). Maqām qurbā menurutnya terletak di antara kedudukan para nabi pembawa shari'at (nubuwwat al-tashri') dan para pembenar nabi yang pernah iman (ṣiddiqiya). Di tempat kedekatan ini (maḥall al-qurbā), seseorang dapat bertemu secara langsung dengan malaikat yang suci.
Copyrights © 1999