Film is a form of popular culture which is analysed its stucture and meaning to understand the information or the political indication from its filmaker. Film as a text has been processing of encoding-decoding that including the audience to make meaning. In the case of Warkop DKI comedy film, which was made in 90’s era or late period of New Order before collapsed, they were Bisa Naik Bisa Turun, Bagi-Bagi Dong, dan Pencet Sana Pencet Sini, in satire represented of socio-political critics. Warkop DKI was using ‘madman’ as a representamen of their criticism to against government’s power, because ‘madman’ was thought as a neutral person that could send the critics. Those films presented the figure of government product such as military leader, doctor, and police, which were act by ‘madman’. Madness and humor were wise form to cover the criticism for the government who’s authoritarian.Film merupakan bentuk kebudayaan populer yang dianalisis struktur dan makna di dalamnya untuk memahami muatan pesan atau indikasi politis pembuatnya. Film sebagai teks mengalami proses encoding-decoding yang melibatkan penonton untuk bereaksi penuh dan aktif dalam ruang tertentu. Pada kasus film komedi Warkop DKI yang dibuat pada era tahun 90-an atau pada masa sebelum runtuhnya Orde Baru, yaitu Bisa Naik Bisa Turun, Bagi-Bagi Dong, dan Pencet Sana Pencet Sini, secara satir dan implisit menyampaikan bentuk kritik terhadap wacana yang sedang berlangsung. Dengan cerdasnya, Warkop DKI menggunakan peran orang gila sebagai representamennya, karena mereka dianggap netral (baca: aman) sebagai penyampai kritik. Ketiga film tersebut menghadirkan tokoh tentara, dokter, dan juga polisi dengan citra yang tidak wajar atau gila dalam pandangan umum. Dengan mengambil wujud demikian, kegilaan dan komedi membalut muatan yang sangat politis, bahkan cenderung tidak nampak sama sekali, namun sekaligus menjadi penyelamat dari pemerintah yang reaksioner terhadap kritik.
Copyrights © 2017