Pemikiran bidang sufisme, secara epistemologis adalah pengetahuan keislaman yang didasarkan pada nalar irfani, berbeda dengan nalar bayani dan burhani sebagaimana dikategorikan oleh Muhammad Abed al-Jabiri. Nalar tersebut di dalam perkembangan ilmu keislaman diistilahkan dengan tasawuf atau sufisme yang khusus dipakai untuk menggambarkan mistisisme dalam Islam. Tujuan sufisme itu sendiri adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran sufistik mengambil bentuk rasa dekat sekali dengan Tuhan dalam arti bersatu dengan Tuhan (ittihadat)[1]. Pada pokok pembahasan ini, penulis mencoba membahas mengenai asal-usul sufisme, kemunculan aliran sufisme, perkembangan pembentukan aliran dan pemikiran sufisme. Oleh karena itu penulis menggunakan teori perubahan untuk menganalisis perkembangan yang terjadi dalam sufisme. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengcounter tuduhan orientalis yang menganggap dan menyatakan bahwa tasawuf bukan produk asli Islam. Sehingga dalam ajaran-ajarannya terkait wilayah esoteris dan eksoteris terdapat kesamaan dengan non-Islam seperti: Hindu, Budha, Kristen, dan sebagainya. Hasil daripada temuan dari penulis adalah bahwa sufisme atau tasawuf merupakan produk asli ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Sejak awal mula Islam didakwahkan oleh Nabi Muhammad Saw., yang kemudian dilanjutkan oleh para sahabatnya hingga generasi penerus ajaran Islam berikutnya. Hal ini karena tasawuf dalam pembentukan disiplinnya adalah berdasarkan pada ajaran moral keagamaan. Oleh karena itu tasawuf bersumber dari al-Qur’an, as-Sunnah, amalan dan ucapan para sahabat yang tidak keluar dari ruang-lingkup Al-Qur’an dan As-Sunnah
Copyrights © 2022