Ketika pertengahan tahun 1990-an penulis hendak membaca dengan sungguh-sungguh cerita Panji (Jawa) yang oleh Poerbatjaraka (1957) disebut sebagai cerita asli Jawa dan oleh Pigeaud (1967: 233) disebut sebagai sastra pesisiran . Kemudian muncul suatu pertanyaan: “Apa keistimewaan kisah Panji sehingga dikenal luas di luar geografi budaya Jawa yang melahirkannya dan memiliki korpus teks sedemikian banyak?” Terlebih apabila pertanyaan itu dikaitkan dengan unsur-unsur kesastraannya dan kemudian dibandingkan dengan karya sastra masa kini, seperti tokoh dan penokohan, pengaluran, serta tema, yang senantiasa melahirkan kebaruan-kebaruan dan yang kemudian seringkali menimbulkan tegangan antara karya sastra dan pembacanya. Tak ada yang istimewa. Cerita Panji yang dapat dikatakan sebagai sastra istana, dalam pengertian sastra dengan latar cerita istana, itu tidak berbeda dengan kecenderungan karya klasik sezaman: tokoh stereotip, pipih, tanpa kejutan; alur datar; tema hitam-putih; dan seterusnya. Tokoh wirawan senantiasa disebut lir Parta merupakan tokoh biasa kita kenal dengan Arjuna atau lir Hyang Kamajaya nitis (bagai Dewa Kamajaya yang turun ke dunia) apa pun cerita, tema, dan genrenya, dan seterusnya. Wirawan selalu bisa menaklukkan lawan-lawannya, entah dengan kekuatan sendiri maupun dengan bantuan pihak lain, termasuk kekuatan adikodrati. Demikian pun tokoh-tokoh lain. Tokoh-tokoh perempuan, misalnya, senantiasa menjadi objek penderita: suwarga nunut, neraka katut (menumpang suami masuk surga, ikut terperosok jika suami masuk ke neraka’atau kanca wingking (sahabat yang berada di dapur) sebagaimana unen-unen (proposisi) yang dikenal oleh orang Jawa masa kini.
Copyrights © 2015