Sejak awal abad pertama Masehi, Selat Melaka dan kedua pulau yang mengirinya (Sumatera dan Semenanjung Malaysia) telah menjadi tumpuan perdagangan dan bisnis antarbangsa, di antaranya dari negeri-negeri Arab, negeri anak benua di India, Negeri Cina. Sebelum bandar-bandar niaga yang besar terbentuk di sekitar Selat Melaka, Sriwijaya sejak abad ke-7 menjadi pusat perdagangan, pelayaran dan pusat agama Budha di Nusantara. Melalui suatu proses jangka panjang lamanya terbentuklah bahasa perhubungan di Kepulauaan Nusantara yang memungkinkan orang untuk berkomunikasi antara sesama suku atau bangsa di Nusantara dan antar suku- suku bangsa itu dengan bangsa-bangsa asing melalui lingua franca yang kemudian dikenal dengan nama bahasa Melayu. Setelah bandar-bandar dan pusat-pusat perdagangan mulai terbentuk di sekitar Selat Melaka seperti Pasai (abad ke-14), Melaka (abad ke-15), Aceh (abad ke-16) bahasa Melayu juga dikenal dengan bahasa dan tulisan Jawi, berkembang dengan pesat dan diterima oleh mayoritas penduduk setelah proses islamisasi terjadi. Ali Syahbana menyebutkan bahwa pada abad ke-16 Jan Huygen van Linschoten, seorang Belanda, berkunjung ke Melayu Nusantara dan ia menyebut bahwa bahasa Melayu itu telah terkenal di Dunia Timur dan dianggap orang bahasa yang baik. Ia menyebutkan “..die in Indie deze niet kan, die mag niet mee, gelijk bij ons het Franchs..” (artinya: siapa di Hindia (Nusatara) tiada tahu bahasa ini, dia tiada boleh mengikut, seperti pada kita bahasa Francis).
Copyrights © 2014