Penjualan rumah susun/apartemen/kondominium dalam kondisi belum selesai dibangun (penjualan secara off-plan/pre-project selling) banyak dilakukan melalui PPJB yang umumnya dibuat dalam bentuk yang baku. Model penjualan melalui PPJB ternyata menimbulkan masalah hukum yang cenderung merugikan calon pembeli. Banyak pengembang yang dalam pembuatan PPJB selalu mencantumkan klausula baku dan penghindaran atau pengabaian Pasal 43 ayat (2) UURS. Berlindung di balik berlakunya Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tentang asas kebebasan berkontrak, para pengembang berusaha menghindar dari persyaratan penjualan melalui PPJB, terutama syarat kepastian hak atas tanah, IMB dan keterbangunan 20%. Untuk meminimalisir kerugian pada konsumen rumah susun (calon pembeli) dan itikad tidak baik dari pengembang harus ada penegakan hukum yang jelas dan pasti yang dapat memberikan keadilan, kepastian hukum dan perlindungan hukum  bagi masyarakat pembeli rumah susun. Ada berbagai instrumen hukum yang dapat digunakan oleh calon pembeli dalam menuntut menuntut hak-haknya, yaitu melalui upaya hukum perdata dan pidana. Dalam penyelesaian perdatanya,  dapat dipilih penyelesaian melalui cara non litigasi/ADR dan mengadu ke BPSK atau menggunakan cara litigasi melalui gugatan wanprestasi atau gugatan perbuatan melawan hukum. Penggunaan instrumen hukum pidana didasarkan pada pengenaan sanksi pidana yang terdapat Pasal 110 UURS dan 62 ayat (1) UUPK.Kata Kunci: Rumah Susun, PPJB
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2019