Kerajaan Belanda diklaim telah mengontrol Nusantara--sebutan Indonesia sebelum kemerdekaan--, lebih dari 350 tahun. Diawali dari kedatangan VOC pada awal abad ke-17 (Maret 1602), kemudian tegaknya Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1850--sejumlah literatur menyebutkan tahun 1800--yang berpusat di Batavia, sebutan Jakarta di masa lampau. Setelah ratusan tahun berkuasa di Nusantara, Belanda gagal mempertahankan wilayah jajahannya, dimulai sejak Nusantara dikuasai Jepang pada tahun 1942. Memanfaatkan momentum kekalahan Jepang dari Amerika Serikat pada 1945, Belanda hendak mencoba kembali menguasai Indonesia--setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945--, melalui serangkaian agresi militer sebanyak dua kali (agresi militer I tahun 1947 dan agresi militer II tahun 1948). Tapi, segigih apapun perjuangan itu, Belanda tetap gagal mengembalikan kedigdayaannya di Indonesia, seperti yang pernah diukir di masa lampau. Apa yang menyebabkan Belanda gagal mempertahankan wilayah jajahannya di Nusantara? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kegagalan tersebut? Penelitian ini secara khusus menjawab pertanyaan tersebut. Data riset ini diperoleh melalui kajian pustaka, baik melalui analisis terhadap jurnal, buku maupun berita di media massa. Penelitian ini menunjukkan sejumlah faktor kegagalan Belanda dalam mempertahankan wilayah jajahannya di Indonesia. Pertama, terjadinya krisis ekonomi di negera Belanda pada tahun 1930an yang memicu terjadinya konflik dan perpecahan kelompok elit di kerajaan Belanda. Konflik mencapai puncaknya ketika kelompok Kristen berhasil menguasai kursi parlemen dan menyingkirkan kelompok liberal dan komunis yang sudah berkuasa selama 50 tahun. Krisis ekonomi, konflik dan perpecahan kelompok elit di negeri Belanda itu pada akhirnya mempengaruhi wilayah kolonialnya sehingga menjadi sulit dikontrol. Kedua, terjadinya mobilisasi sumber daya, dimana Jepang turut mengerahkan persenjataan untuk membantu rakyat Nusantara yang ingin melepaskan diri dari cengkraman penjajah. Jepang mengajarkan rakyat cara berperang dan menggunakan senjata. Kemudian massa sangat mudah dimobilisir karena peran kelompok ulama yang mengkonsentrasikan gerakan perlawanan dari pondok pesantren. Mobilisasi massa relative mudah dijalankan karena, umat Islam yang merupakan mayoritas di Nusantara, tidak ingin Belanda yang dianggap pemerintahan Kristen itu kembali berkuasa dan menyengsarakan umat Islam. Ketiga, adanya konstruksi isu kemerdekaan yang sudah dijalankan oleh tokoh-tokoh pergerakan, dimulai pada masa Soekarno, Hatta, dan wacana kemerdekaan itu terus dibangun secara massive oleh kelompok Islam melalui pondok-pondok pesantren.
Copyrights © 2022