Artikel ini membahas tentang implikasi keragaman qira’at terhadap tafsir dan Istinbat hukum. Al-Qur’an dianggap sebagai wahyu yang berasal dari Allah secara substansi dan secara redaksi berasal dari Nabi Muhammad Saw. Kitab suci otentik dan original yang tidak dapat dipisahkan dari aspek bacaan atau cara baca (qira’at). Secara historis, proses penyalinan mushaf Al-Qur’an terjadi pada masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan dilatarbelakangi adanya perbedaan cara baca (qira’at) yang bersumber dari perbedaan dialek yang berakibat perselisihan di antara kaum Muslim. Sejarah mencatat bahwa qira’at al-Qur’an yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. kepada para sahabatnya dengan beragam versi qira’at. Para Ulama bersepakat bahwa qira’at yang diriwayatkan secara mutawatir bersumber dari Rasulullah adalah qira’at sab’ah. Beredarnya versi qira’at sab’ah yang mutawatir,mashur, dan shadz. Keragaman versi qira’at ini tidak bisa dihindari sehingga berimplikasi terhadap kualitas sebuah tafsir sehingga berimplikasi besar terhadap Istinbat hukum. Misalnya sebagai hasil Istinbat hukum yang terkandung dalam surat al-Ma’idah [5]: 89, al-Shafi’i dan Malik berpendapat, bahwa pelaksanaan puasa selama tiga hari sebagai kifarat sumpah tidak disyaratkan harus berturut-turut, akan tetapi boleh dilaksanakan secara berturut-turut ataupun secara terpisah. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan.
Copyrights © 2022