Pada pemilu tahun 2019, terdapat 2 (dua) lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa proses pemilu, yaitu Bawaslu dan PTUN. Secara normatif, ketika putusan Bawaslu tidak diterima, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada PTUN. Dengan kata lain, pengajuan permohonan kepada PTUN dapat diajukan apabila upaya administratif di Bawaslu telah dilakukan. Namun, dalam perkara nomor 5/G/SPPU/2019/PTUN.YK, pengajuan permohonan kepada PTUN tidak berdasarkan ketentuan dalam UU Pemilu. Ada pertimbangan lain yang digunakan Majelis Hakim untuk memutus perkara a quo. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari secara mendalam faktor-faktor yang mempengaruhi putusan perkara a quo. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Ini adalah proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, dan doktrin hukum untuk menjawab masalah. Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan argumentasi untuk memecahkan masalah. Penelitian ini mengkaji tentang produk hukum dan putusan PTUN yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa proses pemilu. Ada 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi putusan Nomor 5/G/SPPU/2019/PTUN.YK. Pertama, Majelis Hakim yakin bahwa pengajuan meminta penyelesaian sengketa di Bawaslu Gunungkidul yang tidak terdaftar memiliki arti upaya administratif. Kedua, objek konflik adalah prosedur dan substansi yang cacat. Penggugat mengatakan bahwa cacat prosedur dan substansi karena kesalahan ketik kata “2018” hingga “2019”. Ketiga, adanya pelanggaran AAUPB (ketepatan dan kepastian hukum). Hal ini terbukti menurut hukum terdapat cacat prosedur dan substansi dalam putusan objek sengketa akibat tergugat tidak cermat dalam mempelajari dan menerapkan aturan hukum. Hal ini berdampak pada ketidakpastian hukum terhadap status penggugat sebagai calon anggota DPRD
Copyrights © 2021