Di awal era abad ke-20, kolonialisme Eropa mendominasi hampir seluruh dunia. Pada masa tersebut berkembang akulturasi antara budaya Eropa dan budaya setempat di wilayah koloni dalam berbagai dimensi kehidupan, termasuk juga dalam arsitektur. Sejumlah kajian yang berkembang tentang akulturasi arsitektur di negeri jajahan pada masa kolonial akhir sangat menekankan pada agen-agen Eropa dalam upaya mereka mengapresiasi tapi sekaligus mendominasi budaya setempat. Kajian ini bertujuan untuk mengajukan cara pandang alternatif dalam memahami akulturasi arsitektur dengan mengangkat kalangan elite Jawa sebagai tokoh utama dan agen perubahan. Arsitektur Jawa memiliki tradisi yang panjang dengan rumusan langgam yang jelas, namun juga memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga memungkinkan untuk berakulturasi dengan arsitektur dari berbagai langgam. Salah satu dinamika yang menarik pada abad ke-20 adalah perkembangan komponen fasade yang mengadaptasi Arsitektur Neo-Klasik Eropa. Pedimen yang berkembang sejak masa Yunani Kuno ternyata dikembangkan terus sebagai rujukan arsitektur Eropa hingga sekarang. Di Yogyakarta komponen fasade dengan pedimen yang ditopang kolom berganda ternyata dikembangkan di kalangan ningrat dengan ragam akulturasi dengan budaya Jawa yang sangat kaya. Kajian ini berupaya untuk memahami pola-pola bentuk hasil akulturasi pada fasade dengan pedimen ini pada sejumlah bangunan di Kraton Yogyakarta dan di Dalem Notonegaran. Dari pembandingan ini didapati bahwa akulturasi tersebut menampilkan sisi progresif Arsitektur Jawa dengan berbagai kebaruan sintesisnya yang melibatkan elemen-elemen Arsitektur Eropa tapi juga mengangkat berbagai khasanah budaya Jawa dengan kebaruan komposisi, teknologi dan representasi.
Copyrights © 2023