Meritokrasi sebagai sistem penempatan di dalam suatu jabatan pemerintahan atau pun pekerjaan berdasar kepantasan dan kelayakan, secara implisit tidak lepas disinggung dalam Al-Qur`an. Hal ini dapat diamati misalnya, dalam surat Yusuf: 55 tentang jabatan bendahara negara yang diajukan oleh Yusuf as. kepada Raja Mesir, juga dalam surat Al-Qashash: 26 tentang pengajuan Musa as. untuk bekerja kepada Syu’aib as., juga dalam Al-Baqarah: 247 tentang pengangkatan Thalut sebagai raja. Dari ketiga ayat tersebut, semua penempatan itu berdasar pada kelayakan, Yusuf as. yang diungkap sebagai “hafîdzun ‘alîm”, Musa as. yang diungkap dengan “al-qawiyyul-amîn”, dan Thaluth yang diungkap dengan “basthatan fil-‘ilm wal-jism”. Pengungkapan ketiganya dengan kompetensi masing-masing menjadi petunjuk Al-Qur`an untuk memperhatikan penempatan suatu posisi kepada orang yang tepat untuk mendapatkannya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif melalui studi kepustakaan, dengan pendekatan tafsir tematik (tafsir maudlu’î) tentang ayat-ayat Al-Qur`an yang mengandung pesan meritokrasi seperti, Al-Baqarah: 30-31, 247, Yusuf: 55, An-Nur: 55, dan Al-Qashash: 26, juga kata yang semakna dengan meritokrasi, seperti kata ahlun, dalam An-Nisa`: 58, An-Nahl: 43, dan Al-Anbiya`: 7. Dari ayat-ayat yang diteliti dapat teridentifikasi, bahwa di antara standar sistem merit dalam Al-Qur`an, antara lain: 1) kapabilitas, yang teridentifikasi dari pengetahuan dan pengalaman; 2) profesionalisme, yang teridentifikasi dari sikap yang bertanggung jawab; 3) moralitas, yang teridentifikasi dari karakter yang amanah; 4) kerja keras, yang teridentifikasi dari kekuatan. Kata kunci: al-qur’an, meritokrasi, tafsir Al-Qur`an, tafsir maudlu’
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2024