Legalitas pernikahan beda agama di Indonesia masih menjadi polemik di kalangan masyarakat, di mana realitas sosial ini terlihat pada tindakan nekat sebagian warga negara yang melakukannya. Meskipun UU Perkawinan No. 1/1974 Pasal 2 ayat (1) menyerahkan status pernikahan beda agama berdasarkan keyakinan masing-masing, namun NU, MUI, dan Muhammadiyah telah menyepakati bahwa pernikahan beda agama hukumnya haram dalam segala dimensinya. Kontradiksi antara pandangan empat mazhab dan teks al-Qur'an inilah yang menjadi fokus studi literatur ini, dengan menggunakan rumusan Lajnah Bathsul Masail NU, Komisi Fatwa MUI, dan Majilis Tarjih Muhammadiyah sebagai sumber utama. Dengan menerapkan teori al-Qa'idah al-Usuliyyah al-Lugawiyyah dan al-Qa'idah al-Usuliyyah al-Tasyri'iyyah, penelitian ini mengungkapkan bahwa NU menggunakan langkah-langkah seperti memahami masalah, menghimpun pendapat para ulama, dan membatasi pendapat hanya pada kelompok Syafi'iyah. Sementara itu, MUI menggunakan langkah-langkah seperti memahami masalah, menelusuri dalil dari al-Qur'an dan hadis, menganalisis melalui kajian bahasa, merujuk pendapat ulama sebagai dalil pendukung, dan memilih pendapat yang lebih maslahat. Di sisi lain, Muhammadiyah menggunakan langkah-langkah seperti menelusuri dalil melalui teks yang sarih, menganalisis melalui kajian semantik, memperhatikan pendapat ulama sebagai dalil pendukung, dan mentarjih pendapat dengan menggunakan sadd alzariah. Dari ketiga rumusan tersebut, muncul dua perbedaan utama, yaitu terkait eksistensi Ahli Kitab di era kekinian dan perbedaan cara pandang dalam menyikapi pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab.
Copyrights © 2023