Ketegangan sosial yang diakibatkan oleh agama telah menjadi problematika yang mengglobal akhir-akhir ini. Sekalipun pada hakikatnya agama memiliki nilai-nilai yang luhur dalam kehidupan namun tidak sedikit konflik dan kekerasan terjadi mengatasnamakan agama. Artikel ini memperlihatkan realitas beragama, bahkan oleh agamawan, yang masih mempraktikkan sikap diskriminatif terhadap perbedaan, melalui narasi Petrus dan Kornelius dalam Kisah Para Rasul 10. Tujuannya, melalui pembacaan narasi tersebut teologi dapat merefleksikan konstruksi beragama yang mereduksi sikap diskriminasi. Dengan menggunakan metode analisis naratif konstruktif atas Kisah Para Rasul 10, diperlihatkan bagaimana Roh Kudus yang berkarya dalam kelahiran gereja merengkuh segala perbedaan yang paling hakiki. Ini berarti gereja yang lahir dalam peristiwa Pentakosta harus memperlihatkan spiritualitas yang anti-diskriminasi.
Copyrights © 2023