The aim of this study is to ascertain the role of DNA (Deoxyribonucleic Acid) test results within the evidentiary framework and their utility in establishing the veracity of material evidence in criminal proceedings. The research questions addressed are: 1) What is the legal status of DNA (Deoxyribonucleic Acid) test results as evidence in criminal cases? 2) What are the legal regulations governing DNA (Deoxyribonucleic Acid) testing for the substantiation of criminal offenses? Employing a normative juridical research methodology, this thesis adopts multiple approaches, including the statutory, case, and conceptual approaches. Findings from this inquiry reveal that 1) DNA testing serves as circumstantial evidence rather than primary evidence in criminal investigations, with its utilization not explicitly outlined in the Criminal Procedure Code (KUHAP). Article 188, Paragraph (2) of the KUHAP stipulates that clues, including DNA testing, may only be derived from witness testimonies, documents, and defendant statements. The integration of DNA testing into trial proceedings poses significant legal hurdles due to the absence of specific regulatory frameworks. 2) The collection of DNA samples constitutes a pivotal stage in evidence-gathering processes, offering a means to establish certainty and clarity in case adjudication. Consequently, in the context of criminal justice policy evolution, the role of DNA testing emerges as exceedingly crucial and strategic. Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kedudukan hasil Tes DNA (Deoxyribonucleic Acid) dalam sistem pembuktian dan bagaimana Tes DNA (Deoxyribonucleic Acid) dapat membantu menentukan kebenaran materil pada pembuktian dalam proses perkara pidana. Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah 1) Bagaimanakah kedudukan Tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) sebagai alat bukti dalam perkara pidana? 2) Bagaimanakah Kebijakan Hukum terhadap Tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) pada pembuktian tindak pidana? Skripsi ini ditulis dengan menggunakan tipe penelitian yuridis normative, menggunakan berbagai pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan konseptual. Adapun hasil penelitian ini bahwasanya 1) Tes DNA dianggap sebagai alat bukti petunjuk, bukan bukti utama pada penyelesaian suatu kejahatan. Penggunaan tes DNA tidak diatur secara spesifik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 188 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menguraikan bahwasanya petunjuk, termasuk Tes DNA, hanya dapat didapatkan melalui keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Penggunaan Tes DNA sebagai alat bukti dalam persidangan menimbulkan tantangan hukum yang signifikan karena tidak adanya regulasi yang secara khusus mengaturnya. 2) Pengambilan sampel DNA merupakan langkah krusial dalam mengumpulkan bukti yang dapat memberikan kepastian dan kejelasan dalam menentukan kebenaran suatu kasus. Dalam konteks pengembangan kebijakan hukum pidana, tes DNA menjadi sangat penting dan strategis.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2024