Pelaksanaan sistem demokrasi politik di Indonesia melalui Pemilihan Umum merupakan sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya, termasuk dalam memilih kepala daerah melalui sistem demokrasi yang dikenal sebagai pilkada. Namun, dalam sejarahnya, pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah telah menghadirkan fenomena politik hukum baru di Indonesia, kontestasi politik merupakan salah satu contohnya, yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon atau disebut juga sebagai pasangan calon tunggal. Kepastian hukum terkait aturan calon tunggal pemilihan kepala daerah dapat dirujuk pada Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015 yang kemudian diperkuat dengan ketentuan Pasal 54C ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Situasi di mana hanya ada satu pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah mengacu pada kontestasi pemilihan yang tetap dilakukan meskipun pilihan yang beragam diinginkan dalam demokrasi. Meskipun demikian, kehadiran satu pasangan calon tidak menghentikan proses pemilihan karena regulasi mengharuskan pemilihan dilakukan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang pluralitas dan kompetisi yang sehat dalam pemilihan, serta memicu diskusi tentang meningkatkan partisipasi masyarakat untuk proses pemilihan yang lebih dinamis dan representatif. Sementara itu, bentuk aturan yang ideal terhadap calon tunggal kepala daerah guna memudahkan demokrasi sesuai konstitusi dapat dilakukan dengan merevitalisasi regulasi yang mengatur terkait aturan ambang batas bagi partai politik yang terlalu tinggi, aturan pendaftaran calon yang masih memerlukan surat rekomendasi dari pengurus partai di tingkat pusat, serta aturan terkait fasilitas kampanye yang seharusnya tidak hanya diberikan kepada pasangan calon tunggal namun juga diberikan terhadap pendukung kolom kosong demi memenuhi rasa keadilan.
Copyrights © 2024