Isu kekerasan seksual terus berkembang sebagaimana perkembangan kejahatan terkait kekerasan seksual. Hal ini dilatarbelakangi oleh semakin maraknya kasus-kasus kekerasan seksual di Indonesia. Untuk menjawab permasalahan ini, maka dibentuklah UU TPKS sebagai solusi dari maraknya kekerasan seksual di Indonesia. Dalam UU TPKS tidak hanya berfokus pada korban perempuan dari tindak pidana kekerasan seksual, tetapi mencakup juga yang disebut kelompok rentan. Namun demikian, reformasi Hukum Pidana Indonesia mengenal adanya KUHP baru yang di dalamnya dimuat prinsip-prinsip penting dalam perumusan eperti rekodifikasi terbuka, prinsip Keseimbangan, dan prinsip lain yang relevan dalam penyusunan KUHP Indonesia. KUHP juga sudah mengadopsi nilai-nilai yang ada dalam konvensi-konvensi internasional termasuk CEDAW yang merupakan salah satu konvensi terpenting bagi pengaturan UU TPKS. Hal ini tentu akan menimbulkan perbedaan pendapat, apakah ketentuan hukum pidana materiil dalam UU TPKS (yang baru disahkan) perlu untuk dimasukkan dalam KUHP atau dibiarkan tetap berada di luar sebagai suatu ketentuan pidana khusus? Artikel ini akan membahas permasalahan mengenai kedudukan UU TPKS terhadap KUHP. Permasalahan akan dijawab dengan melihat proses legislasi UU TPKS termasuk landasan teoritis yang digunakan perumus UU TPKS. Selanjutnya, penulis juga akan menganalisis apakah UU TPKS merupakan suatu undang-undang khusus terutama jika dibandingkan dengan perkembangan isu-isu aktual yang ada di KUHP.
Copyrights © 2023