Dalam era persaingan usaha yang sangat kompetitif akibat perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi, perusahaan di Indonesia cenderung fokus pada bisnis inti dan menggunakan alih daya (outsourcing) untuk mengelola fungsi non-inti guna meningkatkan efisiensi operasional dan menekan biaya. Meskipun outsourcing memberikan keuntungan seperti fokus pada bisnis utama dan pengurangan beban pengembangan SDM, terdapat kekhawatiran mengenai dampak negatifnya terhadap pekerja, seperti ketidakpastian status, ketidakadilan upah, dan perlindungan kerja yang minim. UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, dengan konsep Omnibus Law, memperkenalkan fleksibilitas yang lebih besar dalam penggunaan tenaga outsourcing, menggantikan UU No. 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan, namun menuai kontroversi dan penolakan dari kalangan pekerja karena dianggap merugikan mereka. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskripsi kualitatif dan analisis yuridis untuk mengkaji tantangan dan kendala serta solusi dari implementasi pasal 66 dan 81 UU Cipta Kerja. Pembahasan menunjukkan bahwa meskipun UU Cipta Kerja bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan investasi, perubahan regulasi mengenai outsourcing dan ketenagakerjaan menimbulkan kekhawatiran terkait pengurangan hak dan perlindungan pekerja, yang dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mereka.Kata Kunci : Alih Daya, Omnibus Law, Undang-Undang Cipta Kerja
Copyrights © 2024