Terdapat dua garis hukum perkawinan yang dipakai oleh masyarakat Islam di Indonesia, yaitu hukum perkawinan menurut Undang-Undang di Indonesia (hukum Positif) dan perceraian menurut hukum Islam yang mengacu pada pandangan fiqh. Hukum Positif memandang bahwa perceraian dan rujuk merupakan perbuatan hukum yang harus dicatatkan. Pencatatan perkawinan bagi penduduk beragama Islam, pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menentukan bahwa kewajiban instansi pelaksana untuk pencatat nikah, talak, cerai, dan rujuk bagi penduduk yang beragama Islam pada tingkat kecamatan dilakukan oleh pegawai pencatat pada KUA. Sedangkan menurut hukum Islam, antara perceraian dan rujuk dapat terjadi apabila telah memenuhi unsur syariat walaupun tanpa adanya pencatatan melalui institusi pemerintahan. Pendapatnya Imam SyafiŸi dalam hal ini berpendapat bahwa rujuk itu harus dengan ucapan yang jelas bagi orang yang dapat mengucapkannya dan tidak sah jika hanya perbuatan, sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 167 ayat 4 yaitu setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani buku pendaftaran rujuk. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan, dimana objek utamanya adalah buku-buku perpustakaan dan literatur-literatur lainnya yang berkaitan dengan pembahasan penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode komparatif, yaitu analisis terhadap letak persamaan dan perbedaannya untuk ditarik suatu alternatif yang komparatif. Penelitian ini membandingkan perbedaan dan penyelesaian rujuk menurut fiqh syafii dan hukum Positif di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan tentang ketentuan rujuk berdasarkan fiqh Syafiiyyah dan hukum positif yang di lakukan di luar KUA.
Copyrights © 2024