Artikel ini disusun karena masih ada sebagian masyarakat yang melakukan pernikahan tanpa mencatatkannya kepada petugas pencatat perkawinan di lembaga yang berwenang. Tujuan mendasar dari artikel ini adalah untuk mengedukasi pembaca tentang potensi dampak hukum perkawinan siri di Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui pendekatan normatif. Keabsahan perkawinan di Indonesia dapat dipastikan dengan mengikuti prosedur yang relevan, seperti mendaftarkan perkawinan pada pejabat yang berwenang dan melaksanakan upacara sesuai dengan keyakinan agama dan filosofi para peserta. Kantor Urusan Agama (KUA) adalah tempat dimana umat Islam dapat menyelesaikan langkah-langkah yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahan mereka. Sebaliknya, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dapat menangani pendaftaran bagi non-Muslim. Pencatatan ini berfungsi sebagai bukti resmi yang diakui negara atas sahnya suatu pernikahan dan diterbitkan dalam bentuk akta oleh lembaga berwenang. Dengan pengakuan ini, negara turut serta dalam melindungi dan memberikan kepastian hukum yang memiliki dampak yuridis untuk mendapatkan hak-hak administratif. Jika pernikahan tidak dicatatkan kepada lembaga yang berwenang, status anak sebagai hasil pernikahan hanya akan terikat dengan aspek keperdataan (waris) dengan ibu dan keluarga ibunya. Untuk mengakui seorang anak luar nikah sebagai anak sah, ayah biologisnya harus dapat membuktikan melalui bukti ilmiah dan teknologi, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/2010. Hukum perdata juga mengatur hak-hak anak luar nikah terkait dengan keperdataan dari ayah biologisnya, dengan catatan terdapat bukti yang absah.
Copyrights © 2025