Gencatan senjata dalam konflik Israel-Palestina dapat dianalisis melalui perspektif teori politik Thomas Hobbes, khususnya dalam kaitannya dengan konsep state of nature, Leviathan, dan kontrak sosial. Hobbes berpendapat bahwa tanpa otoritas yang kuat, masyarakat akan terjebak dalam kondisi anarkis yang ditandai oleh kekerasan dan ketidakamanan. Dalam konteks Israel-Palestina, gencatan senjata sering kali berfungsi sebagai upaya sementara untuk keluar dari keadaan alamiah yang penuh konflik, namun tidak diiringi oleh keberadaan otoritas tunggal yang mampu menegakkan perdamaian secara berkelanjutan. Ketiadaan Leviathan dalam bentuk otoritas yang sah dan berdaulat membuat gencatan senjata tetap rapuh dan rentan terhadap pelanggaran. Selain itu, meskipun gencatan senjata dapat dianggap sebagai langkah awal menuju kontrak sosial, absennya kesepakatan politik yang stabil antara kedua pihak menghambat terciptanya perdamaian yang sejati. Dengan demikian, dari perspektif Hobbesian, gencatan senjata bukanlah solusi final, melainkan sekadar jeda dalam siklus kekerasan yang berulang. Tahun 2025 adalah pengulangan peristiwa kesebelas kalinya. Gencatan senjata juga bukan merupakan wujud dari kontrak sosial, karena hanya merepresentasikan bentuk dominasi kekuasaan bukan kesepakatan sejati. Untuk mencapai stabilitas jangka panjang, diperlukan otoritas kuat yang dapat bertindak sebagai Leviathan, baik dalam bentuk negara yang disepakati bersama maupun mekanisme eksternal yang mampu menegakkan perjanjian secara efektif.
Copyrights © 2024