Dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, para penulis berupaya meninjau kembali dinamika kepemahaman sastra tanah air yang semakin maju pesat sejak kemerdekaan Indonesia. Antara lain berupa 11 bentuk pendekatan (moral, sosiologi sastra, psikologi sastra, resepsi sastra, struktural, semiotik, ekspresif, objektif, pragmatik, mimetik, dan feminisme) sebagaimana yang dirangkumkan oleh Hartono (2024) dari UNY Yogyakarta. Ada semacam dinamika yang rupanya mengundang perhatian tersendiri yakni tentang “politik”, yang kami masukkan sebagai pendekatan ke-12 guna menampung sedemikian banyaknya “puisi liar” istilah yang dikemukakan oleh Almuminin dkk (2021) dari UNM Makassar. Ada semacam kesungkanan yang terasa agak tidak etis-demokratis dengan menempatkan semua karya sastra di luar Jawa khususnya Jakarta sebagai “sastra pinggiran” justru karena dianggap berbeda, menyimpang dari arus utama, kurang berbobot, penyair kampungan, atau lainnya. Lalu, kalau begitu, yang manakah yang dapat digolongkan “sastra pusat”? Ada begitu banyak ungkapan-ungkapan bernada politik dan keresahan sosial di sana lalu haruskah kita abaikan begitu saja? ” Makalah ini dapat dianggap turut berpartisipasi mengangkat dan menempatkan berbagai jenis “sastra pinggiran” sebagai karya puitis yang dapat ditarik hikmah manfaatnya dalam penelaahan lanjut berbagai aspek sastra tanah air
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2024