Perkembangan teknologi digital telah meningkatkan jumlah kejahatan siber (cybercrime) yang mengancam individu, institusi, dan negara. Indonesia dan Amerika Serikat memiliki sistem pemidanaan cybercrime yang berbeda berdasarkan hukum yang berlaku di masing-masing negara. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan sistem pemidanaan cybercrime di kedua negara serta faktor yang mempengaruhi penerapannya. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perbandingan hukum, yang menelaah regulasi seperti UU ITE di Indonesia dan Computer Fraud and Abuse Act di Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi kendala dalam penegakan hukum cybercrime, seperti kurangnya alat bukti elektronik dan keterbatasan sumber daya manusia yang ahli di bidang forensik digital. Sementara itu, Amerika Serikat memiliki regulasi lebih spesifik serta lembaga penegak hukum yang lebih siap menangani kejahatan siber. Selain itu, Amerika Serikat menerapkan mekanisme plea bargaining yang memungkinkan terdakwa bekerja sama dengan aparat hukum untuk meringankan hukuman. The advancement of digital technology has led to a rise in cybercrime, posing threats to individuals, institutions, and nations. Indonesia and the United States have different cybercrime sentencing systems based on their respective legal frameworks. This study aims to analyze the differences in cybercrime sentencing between the two countries and the factors influencing its implementation. The research method used is normative legal research with a comparative law approach, examining regulations such as Indonesia’s Electronic Information and Transactions Law (UU ITE) and the United States’ Computer Fraud and Abuse Act (CFAA). The findings reveal that Indonesia faces challenges in enforcing cybercrime laws, including a lack of electronic evidence and limited expertise in digital forensics. In contrast, the United States has more specific regulations and law enforcement agencies better equipped to handle cybercrime. Additionally, the U.S. employs a plea-bargaining mechanism that allows defendants to cooperate with law enforcement in exchange for reduced sentences. This study concludes that Indonesia can learn from the U.S.
Copyrights © 2025