Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya fenomena perkawinan poligami, beberapa pakar hukum terpecah ke dua kubu. Apakah poligami layak diisbat atau tidak? Sebagian ahli hukum menilai bahwa perempuan yang dipoligami perlu dilindungi hak-haknya sehingga isbat poligami seharusnya diperbolehkan. Mengingat dengan tidak adanya pencatatan perkawinan, hal ini berakibat atas tidak terjaminnya hak-hak istri dalam rumah tangga. Oleh kerana itu apabila terjadi hal-hal negatif atas perempuan, negara tidak bisa hadir guna mengatasi problematika yang dihadapi perempuan poligami. Inkonsistensi aturan ini menjadikan polemik ketidakadilan serta para pihak pencari keadilan tidak memperoleh kepastian hukum. Di sinilah regulasi Sema no 2 tahun 2019 tersebut masih perlu dipertanyakan serta sejauh mana pemberlakuannya, dan juga apakah sema no 2 tahun ini masih relevan untuk diterapkan dengan melihat realita yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research). Hasil penelitian ini menunjukan perbandingan antara Fiqih Munakahat dan aturan Sema no 2 tahun 2019, hak istri kedua menurut Fikih munakahat yaitu perkawinan yang lebih dari satu wanita dalam waktu bersamaan tanpa izin pengadilan merupakan perkawinan yang sah saja menurut ketentuan fikih. Terkait hak istri kedua menurut fikih munakahat yaitu istri yang izin maupun tidak izin pengadilan perkawinannya apabila rukun dan syaratnya terpenuhi, maka hak istri muncul sejak ijab kabul itu usai di lakukan. Sedangkan Perkawinan poligami terhadap hak istri kedua menurut Sema No 2 tahun 2019 yaitu perkawinan yang lebih dari satu bahwa suami harus meminta izin kepada istri pertamanya ketika ingin berpoligami dan izin pengadilan, istri kedua yang tidak di catatkan perkawinannya maka tidak memiliki kekuatan hukum.
Copyrights © 2025