Masalah korupsi merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalanhukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya,karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya denganpolitik, ekonomi, dan sosial-budaya. Berbagai upaya pemberantasan sejak duluternyata tidak mampu mengikis habis kejahatan korupsi. Hal tersebut antaralain disebabkan oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu: kompleksitas persoalankorupsi, kesulitan menemukan bukti, dan adanya kekuatan yang menghalangipemberantasan korupsi. Konstruksi sistem hukum pidana yang dikembangkanakhir-akhir ini di Indonesia masih bertujuan untuk mengungkap tindak pidanayang terjadi, menemukan pelaku serta menghukum pelaku dengan sanksipidana, baik pidana penjara maupun pidana kurungan. Sementara itu, isupengembangan hukum dalam lingkup internasional seperti konsepsi tentangsistem pembuktian terbalik terkait tindak pidana dan instrumen hukum pidanabelum menjadi bagian penting di dalam sistem hukum pidana di Indonesia.Selanjutnya, mengenai sistem atau beban pembuktian dalam tindak pidanakorupsi, ternyata dalam praktek dijumpai banyak kendala karena pelaku tindakpidana korupsi melakukan kejahatannya dengan sangat rapi dan sistemik.Salah satu cara yang ditempuh untuk mengatasi keadaan tersebut adalahmelalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubahdengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 8 Tahun2010, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang telah mencantumkanketentuan mengenai pembuktian terbalik (reversal burden of proof). Persoalannyakemudian adalah apakah ketentuan tersebut telah diterapkan secara tepat danutuh dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi sehingga implementasinyadapat berjalan dengan efektif sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
Copyrights © 2011