Tan Boen Kim and Kwee Seng Tjoan were responses to the colonial discourse of Peranakan Chinese men through motifs of crime and prostitution. Both authors present indigenous women as a strategy to deal with colonial discourse. This article is to find out the author's voice and the author's way of developing indigenous women in response to colonial discourse. This problem is seen from a postcolonial feminist perspective. The objects of this research study are these two novels, while the formal objects are colonial discourse and indigenous women presented by male Peranakan Chinese authors. The data are ideas that appear in the two novels, representation of women, and colonial discourse. The data interpretation technique is carried out by deconstructing reading through reversing the binary opposition that appears in the study. The research results show that the voices of indigenous women in these two texts are not their own, but rather the voices of male authors who were dominated by colonial racial politics. As a result, indigenous women were racially constructed as the remaining race in the structure of colonial society. Native women are only objects of misfortune and are burdened with being the guardians of tradition (morality versus liberalism). AbstrakTan Boen Kim dan Kwee Seng Tjoan merupakan respon terhadap wacana kolonial dari laki-laki peranakan Tionghoa melalui motif kriminalitas dan pelacuran. Kedua pengarang tersebut menghadirkan perempuan pribumi sebagai strategi menghadapi wacana kolonial. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui suara pengarang dan cara pengarang dalam membangun perempuan pribumi dalam merespon wacana kolonial. Persoalan tersebut dilihat dari sudut padangan feminis pascakolonial. Objek kajian penelitain ini adalah kedua novel tersebut sedangkan objek formalnya adalah wacana kolonial dan perempuan pribumi yang dihadirkan pengarang laki-laki peranakan Tionghoa. Data penelitian ini adalah gagasan yang muncul dalam kedua novel, representasi perempuan, dan wacana kolonial. Teknik interpretasi data dilakukan dengan pembacaan dekonstruksi melalui pembalikan oposisi biner yang muncul dalam kajian tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suara perempuan pribumi dalam kedua teks tersebut bukanlah suara mereka, melainkan suara pengarang laki-laki yang terhegomoni politik rasial kolonial. Sebagai akibatnya, perempuan pribumi dibangun secara rasial sebagai ras yang tersisa dalam struktur masyarakat kolonial. Perempuan pribumi hanya sebagai objek kemalangan dan dibebani sebagai penjaga tradisi (moralitas versus liberalisme).
Copyrights © 2025