Seiring meningkatnya kebutuhan akan tanah, sering ditemukan tanah yang diterlantarkan pemiliknya. Keterlantaran tanah ini memicu persengketaan antar masyarakat serta melibatkan pemerintah dengan alasan kemaslahatan dan kesejahteraan umum. Untuk itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang hak kepemilikan dan penertiban tanah terlantar. Setiap pemilik tanah wajib mengelola dan memanfaatkan tanahnya; bila diterlantarkan, pemerintah dapat menggugat kepemilikan tersebut, menetapkannya sebagai objek penertiban tanah terlantar, dan menjadikannya tanah negara. Hal inilah yang mendorong penulis membandingkan hukum positif Indonesia dan hukum Islam terkait tanah terlantar. Penelitian ini berfokus pada perbedaan kedua hukum serta korelasi kebijakan pemerintah tentang tanah terlantar dengan kaidah tasharruf al-imām ‘ala al-ra’iyyat manūth bi al-maslahat dan respon hukum Islam terhadap kebijakan tersebut. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan, dalam hukum positif, hak atas tanah terlantar dicabut dan menjadi tanah negara. Dalam perspektif Syāfi’iyah, tanah terlantar dapat menjadi tanah negara hanya jika ada kompensasi atau tidak ada harapan pemilik atau ahli warisnya kembali; jika tidak, kepemilikan tanah tidak dapat tercabut. Kaidah tasharruf al-imām menegaskan kewajiban pemerintah memberantas kezaliman, dan wewenang pemerintah atas tanah terlantar bergantung pada legalitas menghidupkan kembali tanah tersebut. Jika tanah dapat dimiliki dengan menghidupkannya, penguasaan pemerintah dibolehkan. Namun, bila tidak dapat dihidupkan, klaim pemerintah tidak dibenarkan menurut fiqh Syāfi’iyah.
Copyrights © 2025