Artikel ini menganalisis pelanggaran prinsip due process of law dalam implementasi aturan perbantuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). Ketidakjelasan mekanisme permintaan bantuan TNI oleh POLRI menimbulkan dualisme hukum, di mana UU No. 2 Tahun 2012 mensyaratkan permintaan resmi POLRI, sementara UU No. 3 Tahun 2025 membuka ruang pengerahan TNI berdasarkan instruksi presiden dan persetujuan DPR tanpa melibatkan POLRI. Inkonsistensi ini berpotensi mengabaikan asas legalitas dan checks and balances, serta memicu penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif dan legislatif. Studi kasus seperti kerusuhan Mei 2022 dan konflik Papua 2023 menunjukkan dominasi TNI dalam urusan keamanan sipil tanpa koordinasi penuh dengan POLRI, yang bertentangan dengan prinsip due process of law dan demiliterisasi pasca-Reformasi. Penelitian ini menyoroti dampak negatif ketidakpastian hukum terhadap sinergitas POLRI-TNI, termasuk tumpang tindih kewenangan, erosi akuntabilitas, dan risiko pelanggaran HAM. Sebagai solusi, diperlukan revisi regulasi untuk mempertegas mekanisme permintaan bantuan, penguatan pengawasan DPR dan MK, serta optimalisasi Nota Kesepahaman TNI-POLRI. Dengan demikian, penelitian ini menekankan pentingnya harmonisasi hukum guna menjaga prinsip negara hukum dan mencegah militerisasi keamanan sipil.
Copyrights © 2025