Penghayat kepercayaan merupakan minoritas agama yang seringkali mendapatkan hambatan dalam proses rekognisinya di Indonesia. Hambatan tersebut bermula dari misrepresentasi berkepanjangan dalam pengetahuan, stereotype masyarakat, hingga kebijakan negara. Pembaruan Kebijakan serta upaya advokasi telah membawa harapan baru bagi rekognisi penghayat kepercayaan. Hal ini ditandai dengan putusan MK tahun 2017 yang memberikan hak pengakuan warga negara dalam Kolom Agama di KTP. Meski demikian, perkembangan signifikan ternyata belum sepenuhnya menggambarkan situasi rekognisi ideal. Atas permasalahan tersebut penelitian ini berupaya menjawab: 1) Bagaimana problem rekognisi penghayat kepercayaan di Indonesia? 2) Bagaimanakah equal recognition memandang problem penghayat kepercayaan dan dipraktikkan di Indonesia?. Penelitian ini menemukan bahwa tersisa problem rekognisi penghayat kepercayaan di Indonesia, utamanya pasca-putusan MK, berupa: kurangnya layanan pendidikan (guru honorer, tenaga pendidik), petugas pelayanan pencatatan sipil yang belum tersosialisasi, serta ambiguitas di dalam praktik pembedaan kolom agama dan kolom kepercayaan KTP elektronik. Dalam menyelesaikan egual recognition dalam ranah publik, peneliti merekomendasikan upaya lebih lanjut pada: kebijakan (penguatan rekognisi), pelayanan (sosialisasi dan sinkronasi), penerimaan (penguatan “ruang” pertemun).
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2023