Penertiban tanah terlantar sebagai bagian dari kebijakan reformasi agraria oleh pemerintah Indonesia mendapat penguatan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021. Namun, pengaturan dalam Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (2) peraturan tersebut menimbulkan polemik ketika tanah hak milik, yang secara hukum merupakan hak terkuat dan terpenuh, dijadikan objek penertiban hanya karena tidak dimanfaatkan dalam waktu dua tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ketentuan tersebut dalam perspektif teori keadilan Gustav Radbruch, yang menempatkan keadilan sebagai tujuan tertinggi hukum, mengungguli kepastian dan kemanfaatan ketika terjadi pertentangan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan doktrinal. Hasil analisis menunjukkan bahwa penerapan ketentuan tersebut berpotensi melanggar prinsip keadilan substantif, keadilan prosedural, dan keadilan distributif karena tidak mempertimbangkan kondisi faktual pemilik tanah serta membuka ruang penyalahgunaan kewenangan oleh negara. Ketentuan tersebut juga gagal memenuhi asas kemanfaatan hukum karena dapat memicu konflik sosial dan ketidakpastian hukum agraria. Oleh karena itu, regulasi ini perlu dikaji ulang agar sesuai dengan prinsip keadilan sebagai roh dari setiap norma hukum.
Copyrights © 2025