Tujuan penelitian menganalisis secara sosiologis dan yuridis mengenai fenomena masih digunakannya rincik sebagai alas hak atas tanah oleh masyarakat, terutama di wilayah pedesaan. Meskipun rincik bukan merupakan bukti kepemilikan tanah yang diakui secara sah menurut hukum positif di Indonesia, kenyataannya dokumen ini masih dianggap memiliki kekuatan legitimasi oleh sebagian masyarakat. Hal ini menimbulkan problematika hukum, terutama dalam hal kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi hukum dengan metode kualitatif deskriptif. Data diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara terhadap masyarakat yang masih menggunakan rincik sebagai bukti kepemilikan tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan rincik dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, antara lain keterbatasan ekonomi, minimnya akses informasi, kepercayaan terhadap adat dan dokumen lama, serta ketidakefisienan layanan administrasi pertanahan. Ditemukan pula bahwa terjadi jurang antara hukum formal dan hukum yang hidup (living law) di masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan sosiologis dan kebijakan inklusif dalam reformasi pertanahan agar hukum dapat diterima secara substantif oleh masyarakat. The research objective is to analyse both sociologically and juridically the phenomenon of communities still using rincik (land tax documents) as the basis of land ownership, particularly in rural areas. Although rincik is not legally recognised as a valid proof of land ownership under Indonesian positive law, it continues to be perceived as a legitimate document by segments of society. This creates legal challenges, particularly in terms of legal certainty and land rights protection. The study employs a socio-legal approach using descriptive qualitative methods. Data were collected through literature review and interviews with community members who still rely on rincik as evidence of land ownership. The findings reveal that the continued use of rincik is influenced by various factors such as economic limitations, lack of access to legal information, strong cultural attachment to traditional documents, and inefficiencies in land administration services. The study also finds a gap between formal law and the living law within society. Therefore, a sociological approach and inclusive policy reform in land affairs are needed to ensure that law is substantively embraced by the people.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025