Penelitian ini mengkaji pelaksanaan perkawinan adat masyarakat Banjar di Kecamatan Haruyan, Kalimantan Selatan, serta perspektif hukum Islam terhadap proses tersebut. Tradisi perkawinan adat Banjar memiliki nilai budaya yang kuat, mencerminkan identitas sosial dan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam praktiknya, prosesi perkawinan melibatkan rangkaian tahapan adat seperti batumbang tando, badatang, balas lawatan, hingga walimah. Penelitian ini menemukan bahwa meskipun pelaksanaan adat masih terjaga, terdapat penyesuaian terhadap perkembangan zaman, termasuk pengaruh modernisasi dan regulasi negara. Dari perspektif hukum Islam, prosesi adat umumnya tidak bertentangan dengan syariat, selama terpenuhi rukun dan syarat perkawinan seperti adanya wali, mahar, dan ijab kabul. Namun, beberapa unsur simbolik adat perlu dikaji ulang agar tetap relevan dan tidak menimbulkan pemahaman keliru. Penelitian ini merekomendasikan upaya harmonisasi antara adat dan syariat melalui dialog antara tokoh adat dan tokoh agama, serta perlunya dokumentasi tertulis untuk menjaga keberlanjutan tradisi. This study examines the implementation of the traditional marriage customs of the Banjar community in Haruyan District, South Kalimantan, as well as the Islamic legal perspective on these practices. The Banjar marriage tradition carries strong cultural values, reflecting social identity and local wisdom passed down through generations. In practice, the marriage ceremony involves a series of customary stages such as batumbang tando, badatang, balas lawatan, and walimah. The findings indicate that while traditional practices are still preserved, adjustments have been made in response to modernisation and state regulations. From an Islamic legal perspective, the customary process generally does not conflict with Sharia, provided that the essential pillars and conditions of marriage—such as the presence of a guardian, dowry, and marriage contract—are fulfilled. However, some symbolic elements of the tradition require re-evaluation to remain relevant and avoid misconceptions. This study recommends harmonising customary practices and Sharia through dialogue between traditional and religious leaders, as well as written documentation to safeguard the continuity of tradition
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025