Perubahan iklim merupakan tantangan multidimensional yang berdampak tidak merata, khususnya terhadap perempuan di negara berkembang. Penarikan Amerika Serikat dari Perjanjian Paris pada masa pemerintahan Donald Trump memperburuk kerentanan ini dengan melemahkan arsitektur pendanaan iklim global, terutama Green Climate Fund (GCF). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan Critical Discourse Analysis (CDA) dan kerangka teori ekofeminisme untuk menganalisis keterkaitan antara eksploitasi lingkungan dan penindasan perempuan dalam sistem patriarki dan kapitalisme global. Hasil penelitian menunjukkan bahwa absennya komitmen AS mengurangi akses perempuan terhadap program adaptasi, mempersempit keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan, serta mengabaikan pengetahuan ekologis lokal yang dimiliki perempuan. Studi kasus di Kalimantan Tengah mengungkap dampak konkret berupa gagal panen, kehilangan pendapatan, terbatasnya akses bantuan pasca-bencana, dan pelembagaan ketidakadilan gender dalam tata kelola iklim. Temuan ini menegaskan bahwa krisis iklim bukan fenomena netral gender, melainkan cerminan struktur kekuasaan global yang eksklusif. Oleh karena itu, kebijakan iklim perlu bersifat transformatif, interseksional, dan menempatkan perempuan sebagai subjek pengetahuan serta aktor utama dalam agenda keberlanjutan yang adil secara ekologis dan sosial.
Copyrights © 2025