Dalam konteks perdagangan internasional, merek tidak hanya berfungsi sebagai identitas suatu produk, tetapi juga merupakan bagian dari aset tidak berwujud yang memiliki nilai strategis dan ekonomi tinggi. Oleh sebab itu, perlindungan hukum terhadap hak atas merek menjadi suatu keharusan yang harus diakomodasi secara normatif dan diimplementasikan secara efektif. Kajian ini mengadopsi metode pendekatan yuridis normatif, dengan memanfaatkan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, literatur hukum, serta analisis terhadap putusan pengadilan sebagai studi kasus. Penelaahan dilakukan berdasarkan teori perlindungan hukum yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dan Philipus M. Hadjon, serta teori mengenai kepastian hukum menurut Gustav Radbruch dan Sudikno Mertokusumo. Perlindungan terhadap hak merek terbagi menjadi dua bentuk, yakni perlindungan preventif melalui mekanisme pendaftaran merek dengan prinsip first to file, serta perlindungan represif melalui jalur perdata, mekanisme pembatalan atau penghapusan pendaftaran, dan penerapan sanksi pidana terhadap pelanggaran. Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 telah menyediakan kerangka hukum yang relatif komprehensif, implementasinya masih menghadapi sejumlah hambatan. Beberapa di antaranya meliputi lemahnya pengendalian terhadap pendaftaran merek yang diajukan dengan itikad tidak baik, ketidakkonsistenan dalam interpretasi yudisial terhadap istilah "persamaan pada pokoknya", serta belum optimalnya perlindungan terhadap merek asing terkenal yang belum didaftarkan. Studi kasus IKEA dan MAPOGALMEGI menggarisbawahi pentingnya keseimbangan antara kepastian hukum dan prinsip keadilan substantif dalam praktik perlindungan merek di Indonesia.
Copyrights © 2025