Terjadinya pemalsuan identitas dalam proses pernikahan menunjukkan ketidaksesuaian antara realitas sosial dengan ketentuan hukum yang ideal, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 71 huruf a Kompilasi Hukum Islam (KHI). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pertimbangan hukum hakim dalam membatalkan perkawinan akibat pemalsuan identitas serta menganalisis kesesuaian Putusan Nomor 1670/Pdt.G/2024/PA.Btm dengan hukum Islam dan hukum positif. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus, serta dianalisis secara kualitatif melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembatalan perkawinan didasarkan pada ketidakterpenuhinya syarat sah perkawinan karena Tergugat I masih terikat pernikahan sah tanpa izin poligami, melanggar asas kejujuran dan Pasal 71 huruf a KHI serta Pasal 4 dan 5 UU Perkawinan. Kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah penekanan pada perlunya keterpaduan antara aspek perdata dan pidana dalam menangani kasus serupa serta pentingnya penguatan sistem verifikasi data pernikahan oleh KUA. Kesimpulannya, pembatalan perkawinan akibat pemalsuan identitas sah secara hukum dan sejalan dengan nilai-nilai Islam. Disarankan agar hakim mempertimbangkan aspek perlindungan korban dan mendorong integrasi sistem pencatatan nikah dengan data kependudukan untuk mencegah perkawinan yang tidak sah secara hukum sejak awal.
Copyrights © 2025