Pemanfaatan AI dalam Alutsista harus diimbangi dengan kebijakan pertahanan yang responsif terhadap risiko dual-use technology (teknologi yang dapat digunakan untuk tujuan sipil dan militer) serta kerentanan keamanan siber. Tanpa regulasi yang jelas, implementasi AI berisiko menciptakan celah hukum, baik dalam aspek akuntabilitas penggunaan sistem otonom maupun perlindungan data strategis. Salah satu tantangan utama dalam integrasi AI ke sektor pertahanan Indonesia adalah fragmentasi regulasi dan ketertinggalan kerangka hukum nasional dalam mengakomodasi perkembangan teknologi disruptif. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan yuridis normatif untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang tantangan regulasi dan implementasi AI dalam konteks alutsista. Berdasarkan temuan penelitian, memberikan rekomendasi untuk pengembangan kerangka hukum yang lebih baik dalam pemanfaatan AI untuk keamanan siber dan pertahanan nasional di Indonesia. Pemanfaatan AI untuk deteksi ancaman, analisis big data, dan respons otomatis menjadi solusi strategis. Namun, efektivitasnya bergantung pada kerangka hukum yang komprehensif dan responsif. Saat ini, Indonesia memiliki sejumlah regulasi seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Siber (UU No. 11/2008 yang direvisi menjadi UU No. 19/2016), tetapi belum secara spesifik mengatur pemanfaatan AI. Padahal, AI memerlukan pengaturan terkait akuntabilitas algoritmik, perlindungan data sensitif, dan mitigasi risiko bias yang dapat mengancam stabilitas keamanan. Tanpa payung hukum yang jelas, integrasi AI berpotensi menciptakan celah hukum (legal vacuum), terutama dalam konteks pertahanan nasional yang memerlukan presisi dan kepatuhan pada prinsip jus in bello (hukum perang).
Copyrights © 2025