Fenomena populisme semakin menonjol sebagai gaya kepemimpinan politik, termasuk di Indonesia. Penelitian ini bertujuan menganalisis bagaimana populisme memengaruhi strategi komunikasi publik dan peran kepemimpinan dalam membangun legitimasi serta mengelola ruang publik. Kajian ini menggunakan pendekatan literatur dengan analisis interpretatif berbasis hermeneutik dan kerangka meta-governance serta inovasi kolaboratif. Data dikumpulkan dari 34 artikel jurnal terindeks dan dianalisis menggunakan teknik pengkodean serta kategorisasi tematik. Fokus utama diarahkan pada dua figur populis, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, dengan periode analisis 2014–2024. Hasil menunjukkan bahwa Jokowi menekankan komunikasi emosional berbasis kedekatan melalui bblusukan dan media sosial untuk memperkuat citra wong cilik, sedangkan Prabowo lebih menonjolkan narasi konfrontatif "rakyat versus elite" dengan basis nasionalisme dan agama konservatif. Strategi ini sama-sama efektif membangun dukungan elektoral, tetapi berisiko mempersempit ruang deliberatif memperkuat polarisasi, dan melemahkan tata kelola kolaboratif. Temuan ini menegaskan bahwa komunikasi populis dalam kepemimpinan Indonesia bersifat ambivalen: memperkuat legitimasi sekaligus berpotensi mengikis prinsip demokrasi partisipatif di era digital. Populism has increasingly emerged as a dominant leadership style in contemporary politics, including in Indonesia. This study aims to analyze how populist ideologies shape public communication strategies and leadership roles in building legitimacy and managing the public sphere. The research employs a literature-based interpretive approach using hermeneutics and applies the meta-governance and collaborative innovation framework. The analysis focuses on two key populist figures, Joko Widodo and Prabowo Subianto, within the 2014–2024 period. Findings indicate that Jokowi emphasizes emotional communication and proximity through blusukan and social media to reinforce his image as wong cilik, while Prabowo advances a confrontational “people versus elite” narrative grounded in nationalism and conservative Islam. Both strategies effectively consolidate electoral support but simultaneously risk narrowing deliberative spaces, reinforcing polarization, and weakening collaborative governance. The study concludes that populist communication in Indonesian leadership is ambivalent: strengthening legitimacy on one hand while potentially eroding participatory democratic principles in the digital era.
Copyrights © 2025