Keadaan multikultural dan keberagaman menjadi atensi kita, sebab tidak jarang masalah agama, etnis, suku dan ras memicu konflik yang dapat merusak persatuan yang telah lama dibangun. Di tengah pluralisme agama, perpecahan antaragama terjadi, yang disebabkan oleh pemahaman teologis yang belum mendasar pada setiap individu maupun komunitas. Penelitian ini bertujuan untuk menggali perspektif David Cheetham mengenai bagaimana masyarakat seharusnya hidup dalam keberagaman agama dan budaya, serta bagaimana membangun teologi yang berakar kuat dalam diri umat Kristen. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa David Cheetham menganggap teologi antarbudaya bukanlah konsep baru dalam sejarah teologi kontemporer. Ia merujuk pada wahyu 7:9 yang baginya menyingkapkan pandangan multikultural (keberagaman budaya), bukan keseragaman etnis. Oleh karena itu, tugas teologi antarbudaya adalah tetap setia pada injil, namun juga bersikap inklusif terhadap agama atau keyakinan yang lain, guna menjaga keharmonisan. Bagi David, globalisasi memberikan peluang bagi metode dan praktis teologis kontemporer untuk mengeksplorasi kekayaan budaya yang beragam, yang merupakan bagian dari janji eskatologis. Keberagaman, baik budaya maupun agama, bukanlah sesuatu yang harus ditolak atau dihilangkan. Sebaliknya, melalui keberagaman ini, manusia harus saling menghormati, menerima, dan menghargai untuk menciptakan hubungan yang harmonis. Terkait studi agama, penulis menawarkan model penerimaan Paul F. Knitter sebagai panduan dalam berdialog dengan agama lain. Dialog antaragama diharapkan dapat menciptakan rasa saling menghargai, menghormati, dan menerima perbedaan yang dimiliki oleh setiap agama.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025