Penelitian ini membandingkan mekanisme pemakzulan presiden di Indonesia dan Korea Selatan melalui studi kasus Gus Dur (2001) dan Park Geun‑hye (2017). Masalah yang dikaji adalah bagaimana perbedaan kerangka konstitusional dan dinamika politik memengaruhi proses pemakzulan di kedua negara. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi persamaan dan perbedaan dalam aspek legalitas, prosedur, aktor, respon publik, dan outcome. Metode yang digunakan adalah kualitatif-deskriptif dengan pendekatan Most Different Systems Design, studi pustaka terhadap dokumen resmi dan artikel akademik, serta analisis isi tematik untuk menelaah data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemakzulan Gus Dur bersifat politis dan bersandar pada keputusan DPR/MPR tanpa pengujian yudisial, sedangkan pemakzulan Park Geun‑hye mengikuti prosedur konstitusional lengkap dengan pengujian di Mahkamah Konstitusi. Selain itu, gerakan masyarakat sipil di Korea Selatan lebih terkoordinasi (“Candlelight Movement”), sedangkan tekanan publik di Indonesia lebih fragmentaris. Kesimpulannya, efektivitas mekanisme pemakzulan sangat bergantung pada keberadaan lembaga peradilan konstitusional yang independen dan partisipasi publik yang terstruktur. Rancangan kelembagaan dan budaya hukum menjadi kunci keberhasilan pemakzulan sebagai instrumen akuntabilitas. Kata kunci: pemakzulan presiden, komparatif, Gus Dur, Park Geun-hye, demokrasi
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025