Evaluasi penggunaan obat merupakan aspek krusial dalam pelayanan farmasi klinik di fasilitas kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara status penjamin (BPJS dan non-BPJS) dengan pola peresepan penggunaan obat berdasarkan indikator peresepan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) di sebuah klinik di daerah Kroya (Provinsi Jawa Tengah) pada tahun 2020. Indikator peresepan yang digunakan mencakup rerata jumlah obat per lembar resep, persentase peresepan antibiotik untuk ISPA non-pneumonia (batuk-pilek) dan diare non-spesifik, serta peresepan injeksi untuk myalgia. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan data diperoleh secara retrospektif dari resep dan buku rawat jalan pasien. Sampel dipilih menggunakan teknik total sampling, menghasilkan 2.206 sampel resep yang dianalisis. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik (p<0,05) antara penjamin BPJS dan non-BPJS dalam semua indikator peresepan yang dievaluasi. Perbedaan ini terlihat pada rerata jumlah obat yang diresepkan (BPJS: 2,91; non-BPJS; 3,42), persentase peresepan antibiotik pada ISPA non-pneumonia (BPJS: 41,5%; non-BPJS: 63,1%), persentase peresepan antibiotik pada diare non-spesifik (BPJS: 39,8%; non-BPJS: 68,1%), dan persentase peresepan injeksi pada myalgia (BPJS: 0,0%; non-BPJS: 4,1%). Terdapat hubungan yang signifikan antara status penjamin dengan pola peresepan penggunaan obat berdasarkan indikator peresepan Kemenkes RI.
Copyrights © 2025