Xenoglosofilia berkaitan erat dengan bahasa Indonesia sebagai identitas nasional dan bahasa asing sebagai alat komunikasi global. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk, penyebab, serta implikasi xenoglosofilia dari generasi Z pada Studygram terhadap literasi bahasa. Metode yang digunakan ialah kualitatif deskriptif jenis Interpretative Phenomenological Analysis (IPA) melalui analisis konten dan wawancara tertulis dengan wordcloud sebagai alat pengolahan data dan Analisis Wacana Kritis Fairclough sebagai landasan teori. Hasil analisis terhadap 300 unggahan dari 10 subjek menunjukkan xenoglosofilia dalam bentuk campur kode ke luar pada tataran kata dan frasa (nomina, verba, pronomina, adverbia, preposisi, konjungsi, adjektiva, interjeksi) serta alih kode ke luar pada klausa dan kalimat (nominal, verbal, adverbial, adjektival). Pada level tekstual, bentuk ini mencerminkan nilai eksperiental, relasional, dan ekspresif. Pada level praktik diskursif, fenomena ini dipicu oleh strategi menjangkau audiens global, efisiensi istilah, tekanan komunitas, pencitraan profesional, dan optimalisasi algoritma digital. Bahasa asing juga diposisikan sebagai simbol prestise digital yang mewakili simbol kecerdasan dan modernitas, citra profesional-akademik, strategi menarik audiens, kesan eksklusif, dan adaptasi tren global. Xenoglosofilia berimplikasi terhadap peningkatan kompetensi berbahasa asing, tetapi di sisi lain mendorong pengabaian padanan kata bahasa Indonesia. Hal ini terlihat melalui dimensi situasional (diksi dipilih demi daya tarik digital), institusional (Studygram membentuk kebiasaan linguistik baru), dan sosial (globalisasi mendorong marginalisasi bahasa dan jarak antarpenutur). Penelitian ini merekomendasikan penguatan Trigatra Bangun Bahasa secara kreatif dan kolaboratif agar bahasa Indonesia tetap adaptif dan berdaya di ruang digital.
Copyrights © 2025