Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi Islam terbesar yang secara historis memiliki perbedaan pandangan signifikan terkait masalah ajaran agama (furu’iyah) dan praktik kebudayaan, yang berpotensi menimbulkan ketegangan di tingkat elit. Kontras dengan potensi tersebut, Desa Jatipurwo justru menampilkan pola Harmonisasi Akrab dan Integrasi Sosial Fungsional yang kuat di tingkat komunitas basis. Penelitian ini hadir untuk mengisi celah pengetahuan dengan menganalisis bentuk interaksi asosiatif serta mengidentifikasi faktor sosial dan budaya dominan yang menjaga harmonisasi berkelanjutan. Penelitian menggunakan pendekatan Kualitatif dan metode Studi Kasus (Case Study) di Desa Jatipurwo. Hasil penelitian menunjukkan Integrasi Sosial terwujud melalui Interaksi Asosiatif dalam bentuk Akomodasi dan Kerja Sama. Akomodasi terlihat dari partisipasi aktif warga Muhammadiyah dalam Syukuran/Tahlilan 17 Agustusan, di mana ritual tersebut direposisi maknanya menjadi medium spiritual nasionalis yang inklusif. Kerja Sama tampak dalam sinergi pengelola TPQ NU dan Muhammadiyah serta kegiatan keagamaan ibu-ibu PKK yang berfungsi sebagai wadah netral dan fungsional. Kesimpulan penelitian menegaskan bahwa harmonisasi di Jatipurwo adalah kemenangan pragmatisme lokal atas ideologi formalistik. Faktor penentu utama adalah Etika Pekewuh (Keengganan Sosial atau Sungkan), yang berfungsi sebagai mekanisme kendali sosial, secara pragmatis mencegah anggota kedua ormas menonjolkan perbedaan furu’iyah di ranah publik. Faktor ini didukung oleh Solidaritas Mekanik dan Pragmatisme Sosial, yaitu kesadaran fungsional bahwa kelangsungan hidup komunal menuntut saling membutuhkan tanpa memandang afiliasi ormas. Desa Jatipurwo menjadi model keberhasilan integrasi sosial berbasis budaya lokal.
Copyrights © 2025