This study examines the implementation of restitution rights for child victims of sexual abuse in Islamic boarding schools, focusing on the Sorong District Court Decision No. 247/Pid.Sus/2023/PN Son. Using a normative juridical approach and descriptive-analytical method, the research evaluates the legal framework and practical challenges in enforcing restitution under Law No. 31 of 2014 on Witness and Victim Protection. The findings reveal that restitution remains largely symbolic, hindered by limited law enforcement understanding, the absence of a clear execution mechanism, and minimal state intervention. The study’s novelty lies in its analysis of restitution within religious educational institutions and its critique of the state’s weak commitment to victims’ recovery. Strengthening the LPSK’s role, formulating technical regulations, and ensuring state-funded compensation are recommended to transform restitution from a formal norm into a substantive realization of justice for victims of child sexual abuse. Penelitian ini menganalisis implementasi hak restitusi bagi anak korban pelecehan seksual di pesantren dengan studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Sorong Nomor 247/Pid.Sus/2023/PN Son. Menggunakan pendekatan yuridis normatif dan metode deskriptif-analitis, penelitian ini menilai kerangka hukum serta hambatan praktis dalam pelaksanaan restitusi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan restitusi masih bersifat simbolis karena terbatasnya pemahaman aparat penegak hukum, tidak adanya mekanisme eksekusi yang jelas, serta minimnya intervensi negara. Kebaruan penelitian ini terletak pada fokus kajian restitusi di lembaga pendidikan keagamaan dan analisis kritis terhadap lemahnya peran negara dalam pemulihan korban. Penelitian merekomendasikan penguatan peran LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), perumusan regulasi teknis yang lebih operasional, serta penyediaan dana kompensasi negara agar restitusi benar-benar terwujud sebagai keadilan substantif bagi anak korban kekerasan seksual.
Copyrights © 2025