Tindak pidana persetubuhan belum secara eksplisit disebut dalam KUHP lama (UU No. 1 Tahun 1946), namun dapat dihubungkan dengan ketentuan dalam Buku II KUHP, Pasal 284–295, yang mengatur ancaman pidana terkait perbuatan serupa. Saat ini, pengaturan hukum terkait persetubuhan mengacu pada UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Dalam membuat putusan, hakim mempertimbangkan pokok perkara yang tercantum dalam berkas perkara baik di bidang perdata maupun pidana. Penelitian ini fokus pada penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak secara berlanjut berdasarkan Putusan Nomor 1003/Pid.Sus/2022/PT SBY, serta analisis yuridis putusan pengadilan yang menjatuhkan sanksi pidana pada perkara tersebut. Metode penelitian menggunakan pendekatan kasus (Case Approach) untuk menelaah penerapan norma hukum dalam praktik, dan pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute Approach) untuk menelaah semua undang-undang terkait isu hukum yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Majelis Hakim tingkat banding mempelajari seluruh berkas perkara, berita acara persidangan, salinan putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor 60/Pid.Sus/2022/PN.Mlg, memori banding dan kontra memori banding, serta tambahan memori banding sebelum mengambil keputusan dalam putusan Nomor 1003/Pid.Sus/2022/PT SBY.
Copyrights © 2025