Penelitian ini menganalisis kontestasi makna simbolik captikus yang ambivalen. Captikus dipandang sakral, sekaligus dibangun atas narasi kekerasan. Ketegangan makna ini merupakan sebuah pertarungan struktur sosial, makro dan mikro, sehingga menjadi fenomena yang menunjukkan bahwa masyarakat hidup dalam suatu dialog dalam ruang sosial yang kompleks. Makna tidak bersifat tetap, konstan, dan statis; namun dinamis. Lokus penelitian berada di Desa Wanga, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara – tempat di mana captikus menjadi entitas penting karena berperan menopang struktur masyarakat: agama, budaya, sosial, dan ekonomi. Di sisi lain, ada tekanan publik terhadap praktik produksi dan konsumsi captikus yang dipandang sebagai akar kekerasan sosial dan persoalan-persoalan masyarakat (patologi sosial). Berdasarkan konteks inilah, maka penelitian ini berbasis pada penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analitis. Penelitian ini mengumpulkan data melalui sumber primer (masyarakat Desa Wanga) dan sekunder (dokumen, postingan media sosial, berita online, literasi hukum), dengan bersumber pada teknik observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Penelitian ini pun juga berbasis pada analisis konstruktivisme, dengan menggunakan pandangan Peter Berger tentang “konstruksi sosial atas agama,†karena penelitian ini menyoroti aspek sakralitas dari captikus. Argumentasi utama tulisan ini menyebut, captikus merupakan simbol yang bersifat ambivalen, sehingga menyebabkan terjadinya kontestasi makna dalam ruang sosial, antara struktur lokal (mikro) dan publik (makro).
Copyrights © 2025