Revisi Undang-Undang Kementerian Negara sarat akan permasalahan, baik dari sisi prosedural maupun substansi yang diatur. Pembahasan yang singkat dan minim partisipasi publik menjadi bukti bahwa telah terjadi praktik abusive legislation. Revisi Undang-Undang a quo juga ditengarai untuk memberikan insentif politik bagi koalisi pendukung Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dengan menghapuskan limitasi jumlah kementerian yang akan dibentuk oleh Presiden. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan bahan hukum sekunder. Metode pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya permasalahan dalam pembahasan revisi Undang-Undang a quo dengan cara cepat tanpa adanya partisipasi publik. Padahal prinsip dasar dari pembentukan Undang-Undang adalah meaningful participation, sekaligus revisi Undang-Undang a quo menunjukkan adanya praktik abusive legislation dengan menggunakan hukum sebagai alat kepentingan bagi suatu kelompok. Revisi Undang-Undang a quo juga turut melemahkan prinsip check and balances, karena politik kekuasaan yang dilakukan untuk membagi kue kekuasaan sangatlah besar, gemuk dan tidak ada oposisi penyeimbang. Sehingga penggunaan legisprudence dalam proses pembentukan hukum menjadi relevan dalam situasi yang meminggirkan partisipasi dan rasionalitias. Paradigma ini menjadi jalan baru bagi proses legislasi sehingga dapat menguji dan mengukur kualitas legislasi yang dibuat bukan hanya melalui prosedural formil tapi menghadirkan tradisi, pengetahuan lokal, pengalaman, dan realitas sosial dalam merumuskan pembentukan hukum.
Copyrights © 2025