Kota Mataram sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat mengalami perkembangan pesat dalam bidang infrastruktur dan urbanisasi. Namun, kemajuan ini belum diiringi dengan peningkatan kualitas hidup yang setara bagi semua warganya, khususnya perempuan. Perempuan di Kota Mataram masih menghadapi berbagai bentuk ketidaknyamanan dan ketidakamanan di ruang publik, mulai dari pelecehan seksual hingga akses terbatas terhadap fasilitas umum yang aman. Data dari Komnas Perempuan (2025) menunjukkan adanya 976 kasus kekerasan seksual di NTB, dengan sebagian terjadi di ruang publik, yang mengindikasikan lemahnya perlindungan terhadap perempuan. Faktor-faktor yang memperburuk situasi ini meliputi budaya patriarki yang mengakar, rendahnya perspektif gender dalam perencanaan kota, serta kurangnya edukasi masyarakat mengenai kesetaraan gender. Banyak kebijakan publik dan desain kota tidak melibatkan perempuan sebagai subjek penting dalam proses pengambilan keputusan, sehingga kebutuhan mereka kerap terabaikan. Akibatnya, mobilitas dan partisipasi perempuan dalam kehidupan sosial dan ekonomi kota menjadi terbatas. Upaya dari pemerintah, seperti pembentukan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak, masih menghadapi tantangan dari segi anggaran, sumber daya manusia, dan koordinasi lintas sektor. Di sisi lain, organisasi masyarakat sipil dan komunitas perempuan telah memainkan peran penting dalam advokasi, edukasi, dan penyediaan ruang aman alternatif. Mewujudkan Kota Mataram yang ramah perempuan membutuhkan komitmen bersama dari semua pihak. Pendekatan lintas sektor, kebijakan berbasis gender, partisipasi perempuan dalam perencanaan kota, serta edukasi publik yang berkelanjutan menjadi kunci dalam menciptakan kota yang aman, inklusif, dan adil bagi seluruh warganya.
Copyrights © 2025