Permasalahan nafkah pasca pernikahan seringkali menjadi konflik bagi masyarakat muslim modern, terutama dalam menentukan batas kewajiban suami terhadap mantan istri dan anak-anaknya. Pada konteks ini, infaq yang disebutkan dalam Al-Qur’an tidak hanya bernilai ibadah, tetapi juga menjadi instrument keadilan sosial. Wahbah Az-Zuhaili memaknai infak sebagai kewajiban materiil yang juga memiliki dimensi spiritual, sosial, dan hukum, khususnya dalam konteks keluarga dan pasca perceraian. Infak dipahami sebagai tanggung jawab suami untuk menafkahi istri dan anak, berdasarkan prinsip keadilan, kemampuan ekonomi, dan maslahat keluarga. Nafkah utama suami mencakup kebutuhan pokok seperti makan, pakaian, dan tempat tinggal, sesuai ajaran Al-Qur’anQS. An-Nisa [4]:34 dan QS. At-Talaq [65]:6–7). Dalam Islam, nafkah mencerminkan prinsip keadilan dengan menyesuaikan kemampuan suami dan kebutuhan istri, untuk menjaga keseimbangan hak dan kewajiban serta mencegah ketimpangan gender, sehingga berperan penting dalam menegakkan keadilan hukum keluarga. Menurut Pasal 41 ayat (3) UU Perkawinan dan Pasal 81 Kompilasi Hukum Islam, pengadilan dapat mewajibkan mantan suami memberi biaya hidup dan menyediakan tempat tinggal selama masa iddah, tanpa memandang nusyuz atau tidak. Dengan demikian, pemahaman terhadap konsep infaq dapat menjadi solusi dalam penyelesaian sengketa nafkah yang terjadi di masyarakat
Copyrights © 2025