Permasalahan korupsi yang terjadi di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Pada ranah penegakan hukum, koruptor dapat dengan mudah lolos dari hukuman maksimal yang dapat diberikan. Hal ini berimplikasi pada semakin tergerusnya nilai keadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Artikel ini menganalisis aspek normatif dalam Putusan Nomor 50/Pid.SusTPK/2021/PN.Jkt.Pst. Penelitian ini difokuskan pada dua permasalahan utama: (1) apakah aspek normatif yang digunakan oleh jaksa penuntut umum dan majelis hakim dalam putusan tersebut telah diterapkan secara tepat; dan (2) sejauh mana efektivitas hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi berjalan secara optimal. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif menggunakan metode yuridis normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang didapatkan melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam putusan tersebut terdapat kekeliruan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum dalam menentukan dakwaan dan tuntutan. Selain itu, kelemahan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi telah membatasi kewenangan hakim dalam menjatuhkan pidana maksimal terhadap terdakwa yang terbukti merugikan keuangan negara. Tidak adanya aturan yang secara jelas menetapkan batas kerugian negara sebagai dasar pemberian hukuman maksimum membuat ruang interpretasi hukum menjadi sempit. Akibatnya, penerapan sanksi pidana menjadi tidak konsisten dan melemahkan efek jera bagi pelaku korupsi. Oleh karena itu, diperlukan pembenahan kualitas aparat penegak hokum serta penyempurnaan aturan hukum agar dapat mengimplementasikan hukuman maksimal bagi koruptor. Langkah tersebut diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi.
Copyrights © 2024